Upah Minimum Kota



Menjelang tutup tahun, biasanya kita lihat banyak orang berkumpul di depan kantor perwakilan pemerintah di daerah (Walikota/DPRD)...ya...para buruh mulai melakukan demo untuk peningkatan kesejahteraan hidup, mengenai kenaikan UMK.
Sebagai contoh di kota tempat saya tinggal sekarang.
Para serikat buruh bersatu padu dan bahu membahu dalam berdiskusi dengan pemerintah dan pengusaha mengenai kenaikan UMK ini.
Tak jarang para rekan-rekan tersebut bentrok dengan aparat keamanan karena hasil dari tuntutan mereka belum memenuhi apa yang mereka harapkan.
Memang...Kalau menyangkut perut dan menyangkut hajat hidup orang banyak, masalah akan menjadi lebih berat dan menjadi lebih sensitif.
Terlebih lagi dengan masalah UMK.

Pengaturan kenaikan upah setiap tahun untuk para buruh yang bekerja di sektor swasta memang lebih pelik dari pada pengaturan kenaikan upah untuk pegawai negeri sipil.
Pengaturan UMK untuk para buruh yang bekerja di sektor swasta lebih rumit karena melibatkan berbagai pihak yaitu Pengusaha, Pemerintah dan juga para buruh sendiri.
Masing-masing memiliki target yang harus di capai.
Pengusaha memiliki target agar kenaikan upah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya produksi sehingga kelangsungan hidup perusahaan dapat di jamin akan berlangsung panjang.
Karena dengan naiknya biaya produksi, maka secara tak langsung akan berimbas pada sektor keuangan perusahaan yang secara otomatis akan berdampak pada kondisi ketahanan perusahaan.
Begitu juga dengan para buruh, mereka memiliki target menigkatkan pendapatan dalam rangka menigkatkan taraf hidupnya.
Masa iya tahun ini pendapatan nya sama dengan tahun kemarin, padahal semua harga kebutuhan barang selalu naik.
Dari kaca mata saya, pemerintah memiliki target yang lumayan berat.
Posisi pemerintah berada di tengah-tengah antara buruh dan pengusaha.
Pemerintah juga sebagai penyelenggara dan penetap kebijakan memiliki kekuasaan untuk menetapkan dan mengeluarkan peraturan, khususnya yang berhubungan dengan kenaikan UMK.
Pastinya, dalam menetapkan kebijakan, pemerintah harus bijak, jangan sampai ketetapan pemerintah memihak salah satu pihak.
Pemerintah harus berusaha mengambil keputusan yang bersifat win-win solution.
Mengenai hal ini saya pernah minta pendapat dengan 2 teman saya, yang satu berprofesi sebagai buruh di perusahaan asal jepang dan satu lagi sebagai pengusaha di bidang konveksi, dua-duanya orang probumi asli.
Temen saya yang buruh berpendapat :
"Iya untuk kenaikan UMK harus di perjuangkan sampai titik darah penghabisan, lah wong kebutuhan naik terus, masa gaji tidak pernah naik, mau makan apa anak istri saya?"
Kemudian dia berkomentar lagi, "di perusahaan tempat saya bekerja, memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk di singapura. produk yang di hasilkan sama dan juga harga nya pun sama.
misalnya produk A dibuat di singapura dan indonesia, dan harga yang di lepas kepasaran adalah sama misalnya 10 dolar singapura. Tetapi mengapa dari segi gaji saya jauh berbeda dengan rekan saya yang posisi nya sama, perusahaannya sama tetapi hanya berbeda lokasi nya saja?"
Wah...wah...susah juga menjawab rekan saya yang satu ini...
Lain lagi dengan cerita rekan saya yang seorang pengusaha,
Dia berkata "Kenaikan UMK sangat memukul dunia usaha, pengusaha akan semakin sulit karena adanya kenaikan biaya operasional. Bahan baku A naik, Bahan baku B naik, sekarang upah karyawan juga naik...lama-lama saya bisa gulung tikar nih..."
He...he...saya pribadi semakin bingung menanggapi keluhan dua rekan saya di atas...
Tetapi menurut pendapat saya (ini pendapat saya lho ya...jangan buru-buru di kritik...he...he...).
Penentuan UMK ada di tangan pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Pemerintah harus memiliki orang-orang yang berkompeten untuk menetapkan hal yang sangat sensitif ini.
Semoga perubahan UMK tahun ini dapat di terima oleh semua pihak dengan lapang dada.
dan tentunya perubahan UMK ini tidak mempengaruhi iklim usaha di khususnya indonesia.
Akur?

No comments:

Post a Comment